TajukJurnalis.id, INTERNASIONAL – Banyak orang berangkat ke Jerman dengan mimpi besar — belajar di universitas bergengsi, bekerja dengan upah layak, atau mencari pengalaman hidup lintas budaya. Namun tak sedikit pula yang sampai di sana dengan bekal informasi setengah matang, tanpa pemahaman memadai tentang sistem hukum dan sosial Jerman yang ketat dan rapi, Jerman (30/05/2025).
Satu hal yang sering diabaikan oleh para calon migran, termasuk pelajar, Azubi, dan Au Pair asal Indonesia, adalah pentingnya memahami Hak Disabilitas dan Asuransi Haftpflichtversicherung — dua hal yang mungkin terdengar asing di Indonesia, tapi sangat mendasar di Jerman.
Di negeri ini, perlindungan terhadap penyandang disabilitas bukan hanya himbauan moral. Ini adalah keharusan hukum. Menghina, merendahkan, atau mengabaikan hak-hak difabel bisa diproses secara pidana. Sistemnya jelas, perlindungannya nyata, dan sanksinya tegas. Sebuah standar yang seharusnya menjadi acuan kita semua — bukan hanya bagi mereka yang hidup di Jerman, tapi juga bagi siapa pun yang ingin menjadi warga global.
Namun seiring dengan itu, muncul juga pertanyaan yang lebih luas: Apakah kita, sebagai migran, siap menyesuaikan diri dengan sistem hukum seperti ini? Jawabannya sering kali: belum. Terutama jika kita masih menganggap asuransi itu sekadar pelengkap administratif.
Padahal Haftpflichtversicherung, atau asuransi tanggung jawab pribadi, adalah salah satu instrumen terpenting dalam kehidupan sosial di Jerman. Asuransi ini bukan soal “berani atau tidak” bertanggung jawab, tapi soal perlindungan jika suatu hari kita secara tidak sengaja menyebabkan kerugian kepada orang lain — dan ya, itu sangat mungkin terjadi.
Lalu bagaimana jika tidak punya asuransi? Jawabannya sederhana: siap-siap bayar mahal. Dan dalam beberapa kasus, bisa membahayakan legalitas visa atau hubungan kerja seseorang. Itulah mengapa seminar edukatif seperti yang diselenggarakan oleh Bavaria Akademi begitu penting untuk diperluas jangkauannya.
“Hak Disabilitas & Asuransi Haftpflicht: Bekal Hidup di Jerman,” seminar ini bukan hanya memberikan informasi teknis, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif migran Indonesia akan pentingnya paham sistem sosial negara tujuan.
Dalam seminar yang digelar daring ini, para pembicara lintas negara seperti Dr. Ralf Giesen, Yuliarti S., dan mentor dari Jerman-Inggris membuka mata banyak peserta tentang realitas hukum Eropa. Pesan mereka jelas: hidup di luar negeri tak bisa hanya mengandalkan semangat.
Harus disertai kesiapan legal dan proteksi diri. Bunda Ria Bavaria, tokoh diaspora yang juga menjadi host utama acara, menyampaikan hal yang menggugah: “Banyak yang ingin pergi, tapi tidak tahu cara bertahan. Banyak yang semangat berangkat, tapi belum punya bekal bertahan. Inilah yang kami ingin ubah.”
Pentingnya asuransi dan perlindungan hukum juga menjadi perhatian khusus bagi penyandang disabilitas yang kerap menghadapi tantangan berlapis dalam migrasi. Seminar ini memberikan ruang dialog, bukan hanya teori. Para peserta dapat menceritakan kekhawatiran mereka, mendapatkan bimbingan hukum, dan belajar dari pengalaman nyata.
Lebih dari sekadar seminar, inisiatif ini adalah bentuk solidaritas diaspora yang nyata — membuka akses gratis bagi mereka yang kurang mampu, serta memberikan subsidi bagi peserta serius yang ingin Go Germany dengan aman dan bermartabat.
Karena pada akhirnya, niat baik saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kesiapan hukum, kesadaran sosial, dan keberanian untuk melindungi diri sendiri serta menghormati hak orang lain. Dunia semakin terhubung, dan yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling siap.
Bavaria Akademi sekali lagi menunjukkan bahwa menjadi migran bukan hanya soal berpindah tempat tinggal. Ini adalah tentang menjadi bagian dari dunia — dengan penuh tanggung jawab, keberanian, dan kesadaran akan hak dan kewajiban.
Penulis: RiaBavaria