TajukJurnalis.id, POHUWATO – Etnis Jawa Tondano merupakan komunitas yang lahir akibat perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830. Eksistensi komunitas ini tidak lepas dari perang Jawa, salah satu yang dilakukan oleh kolonial Belanda.
Terhadap perlawanan mereka ialah dengan kebijakan pengasingan (exile), dan pemenjaraan terhadap para pejuang pengikut pangeran Diponegoro dan Kiay Modjo ke daerah Minahasa yang berada di bagian Utara pulau Sulawesi.
Kemudian mereka membangun sebuah perkampungan, serta mempererat hubungan dengan penduduk asli dan menikahi wanita-wanita Minahasa.
Melalui budaya pertanian baru yang di kenalkan para pejuang dari Jawa ini diterima oleh penduduk asli Tondano dan Tonsea (Minahasa).
Masyarakat Jawa Tondano dalam waktu yang hampir dua abad (1830-2018) telah berkembang dari 62 pria Jawa yang merupakan pengikut dari Kiay Modjo, dan para keturunannya yang bervariasi dari keturunan kedua hingga saat ini yang menetap di kampung Jawa Tondano (KJT).
Menyandang nama orang Jaton, mereka tidak hanya menetap secara kolektif di pemukiman tersebut melainkan juga menetap dan terpencar di beberapa wilayah yang ada di Indonesia.
seperti di Bojonegoro, Minahasa Selatan, Ikhwan, Doloduo – Bolaang Mongondow, Acongo (dekat jalailolo), Sarongsong (Tomohon), dan Gorontalo.
Di Gorontalo etnis Jawa Tondano tersebar di beberapa wilayah yakni Yosonegoro, Kaliyodo, Reksonegoro, Mulyonegoro, Bandungrejo, dan Salilama hingga menyebar ke Kabupaten Pohuwato.
Mereka dikenal sebagai warga yang giat bekerja dan belajar sehingga mampu menempatkan diri mereka dalam berbagai lapangan kerja, mulai dari jasa pertukangan, pertanian, hingga menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan politik.
Bagi masyarakat Jawa Tondano, budaya pertanian yang di wariskan oleh nenek moyang terdahulu telah menjadikan mereka petani yang ulet, telaten serta usahawan yang berhasil.