TajukJurnalis.id, POHUWATO – 80 tahun usia Republik Indonesia jika dihitung sejak dibacakan Proklamasi oleh Dwi tunggal Soekarno – Hatta tahun 1945.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan,kita tidak serta-merta lepas dari penjajah kolonialisme. Penjajahan bangsa kita hingga hari ini sebetulnya belum tuntas sepenuhnya, walaupun konteksnya berbeda.Rakyat kita belum benar benar merdeka.
Terlepas dari semua itu , Sebuah anomali yang membuat perasaan sedih adalah para pencatat sejarah (wartawan) yang nama namanya tidak tercatat rapih seperti nama para pejuang fisik.
Perjuangan Kemerdekaan bangsa tidak hanya semata karena dentuman bedil dari para prajurit di medan perang.
Akan tetapi ada peran pena para wartawan mengabadikan setiap peristiwa dan menyebarkan informasi itu ke khalayak, termasuk ke dunia luar untuk mempengaruhi diplomasi Indonesia.
Tanpa mereka sejarah perjuangan bangsa ini hanya menjadi kenangan bagi generasi yang mengalaminya.
Hari ini kita membaca catatan emas sejarah karena hasil dari buah pena dari para jurnalis di zaman revolusi. Ketika teks Proklamasi dibacakan oleh proklamator Sukarno Hatta, gaungnya menggema di seluruh dunia berkat usaha Yusuf Ronodipuro dan Wikana yang saat itu bertugas sebagai teknisi dan penyiar radio muda dibantu oleh Sayuti Melik dan Wilopo.
Teks asli Proklamasi di selamatkan dan disimpan oleh.BM.Diah .Teks itu sempat dibuang karena mungkin dianggap sesuatu yang tak bernilai sejarah. Tanpa B.M.Diah kita tidak bisa melihat tulisan Soekarno itu.
Siaran Radio memegang penting untuk menyebarkan berita Proklamasi saat itu karena dianggap paling tercepat menjangkau polosok Indonesia dan bahkan beberapa negara dibelahan dunia.
Sebelum proklamasi kemerdekaan terjadi , jauh kebelakang para wartawan pejuang yang hanya dibekali tekad serta tanpa peralatan memadai, membakar api dan semangat perjuangan pemuda kala itu lewat tulisan-tulisan mereka di surat kabar .
Tokoh wartawan pejuang seperti Tirto Adhi Soerjo, Djamaluddin Adi Negoro,Adam Malik dll adalah wartawan yang lahir pada kancah revolusi fisik.
Masih ingatkah kita Pekik “Merdeka atau Mati” dari Bung Tomo yang dikumandangkan dan dikobarkan lewat siaran Radio Surabaya yang berhasil memprovokasi semangat juang arek arek Suroboyo pada peristiwa heroik perang 10 November 1945, yang berhasil menewaskan jenderal Mallaby pemimpin pasukan Inggris.
Wartawan di era Pembangunan
Peran Wartawan hari ini lebih berat tantangannya bila dibandingkan denga era revolusi.Tidak ada lagi musuh berkulit putih serta penjajah bermata cipit. Yang ada adalah saudara sebangsa yang kadang menjadi musuh yang sangat ganas dalam melindas perjuangan para jurnalis di medan tugas.
Masih segar ingatan kita ketika Fuad Muhammad Syaprudin ( Udin) wartawan harian Bernas ,tahun 1996 tewas dianiaya oleh orang tak dikenal, diduga sebagai akibat dari pemberitaannya yang menyinggung kelompok tertentu.
Ada juga nama lain seperti Herasmus Lobo dari Tabloid Setia,Arwandi dari RCTI, Muhammad Jamaluddin dari TVRI Banda Aceh, Alfred Mirulewan pemimpin redaksi Pelangi,Demas Laira kontributor media daring Sulawesi.com.
Jefri Rumampuk dari media Daring Gorontalo adalah sederet nama – nama yang tewas ,dibacok,dianiaya oleh pihak lain karena diduga disebabkan aktivitas pemberitaan mereka.
Perlindungan Hukum bagi profesi Wartawan di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.Undang – undang ini menjamin Kemerdekaan pers dan memberikan perlindungan terhadap wartawan dalam menjalankankan tugas jurnalistik.
Maka di hari bahagia merayakan Kemerdekaan ke 80 Republik Indonesia ini, sepatutnya kita memberikan kemerdekaan pula kepada pekerjaan jurnalis yang profesional, sebagai pencari, pengumpul, pengolah dan penyaji berita kepada publik dan pengkritik yang solutif bagi penegak dan pelaku kekuasaan.
Wartawan adalah sahabat yang kritiknya secara manusiawi membuat kuping kita menjadi merah tapi berusahalah untuk tetap tersenyum kecut dihadapan mereka.
Penulis: Arman Mohamad