TajukJurnalis.id, POHUWATO – Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) kembali mencuat di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Kali ini, praktik tambang ilegal dilaporkan terjadi di kawasan Tomula, yang merupakan bagian dari kawasan konservasi.
Berdasarkan pantauan awak media dan konfirmasi dari sumber di lapangan, Senin (14/07/2025), aktivitas tambang di lokasi tersebut menggunakan alat berat ekskavator dan memanfaatkan tiga tong rendaman berisi zat kimia yang diduga kuat merupakan sianida. Kegiatan ini disebut-sebut dikoordinasikan oleh seorang pria bernama Daeng Edi, asal Makassar.
“Tong-tong rendaman itu digunakan untuk pelindian emas secara kimiawi. Limbahnya sangat berbahaya jika tak dikelola dengan benar, apalagi ini berada dalam kawasan konservasi,” ujar salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya.
Penggunaan sianida dalam proses ekstraksi emas sangat berisiko bagi lingkungan. Senyawa kimia tersebut dapat mencemari tanah dan air, serta membahayakan ekosistem flora dan fauna sekitar. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu kerusakan ekologis jangka panjang jika tidak segera ditangani.
Sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, praktik semacam ini dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.
Selain itu, karena berada di dalam kawasan konservasi, aktivitas ini juga melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara.
Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada tindakan konkret dari instansi terkait, baik dari BKSDA, Dinas Lingkungan Hidup, maupun aparat kepolisian. Padahal, keberadaan alat berat dan aktivitas pengolahan emas tersebut berlangsung secara terbuka.
“Ini preseden buruk. Negara seperti kalah dengan kekuatan pemodal. Lokasi konservasi seolah tak punya nilai hukum lagi,” ujar pegiat lingkungan dari Gorontalo yang ikut memantau situasi di lapangan.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum didesak untuk segera bertindak. Jika dibiarkan, dikhawatirkan kawasan konservasi Tomula akan mengalami kerusakan permanen. Selain itu, pembiaran ini bisa mendorong munculnya aktivitas serupa di wilayah lain.
“Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kasus ini harus diusut tuntas. Siapa pun aktor utamanya, harus bertanggung jawab secara hukum dan lingkungan,” tegasnya.
Kasus PETI di Tomula kembali mengingatkan pentingnya pengawasan yang ketat di kawasan konservasi serta perlunya sanksi tegas terhadap pelaku usaha ilegal yang mengancam keselamatan ekosistem dan masyarakat setempat.