TajukJurnalis.id, POHUWATO – Dalam kajian filsafat bahasa dan epistemologi, kemampuan manusia untuk berbicara tanpa henti sering kali mencerminkan kedalaman pemahaman, tetapi justru kerapuhan dalam pengetahuan.
Witgenstein dalam traktatus logico phillosipicus berpendapat bahwa batas bahasa adalah batas pemahaman seseorang, semakin banyak kata yang di ucapkan tanpa pemaknaan mendalam semakin jelas individu tersebut mungkin hanya mengulang simbol-simbol linguistik tanpa benar-benar memahami esensinya.
Fenomena ini dapat di jelaskan melalui konsep kognitif disonance dari Leon fastinger, ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan ketidak tahuannya ia cenderung mengisi kekosongan itu dengan kata-kata yang berlebihan, seolah-olah verbalitas dapat menggantikan subtansi.
Fenomena ini juga terlihat dalam konsep bullshit yang di kemukakan oleh Hary Frankfurt, dimana seseorang berbicara bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi untuk menciptakan kesan bahwa ia memiliki pemahaman.
Dalam sudut pandang Semiotika Roanda Bartes membahas, bagaimana kata-kata bisa kehilangan makna aslinya ketika digunakan secara berlebihan atau sembarangan.
Bahasa yang sebenarnya harus menjadi jembatan, maka justru bisa berubah berubah menjadi labirin kosong, dimana individu tersebut tersesat dalam gema suaranya sendiri.
Semakin seseorang berbicara tanpa refleksi, semakin besar kemungkinan bahwa ia sekedar mengulang konstruksi sosial yang telah mapan tanpa pernah benar-benar memahami kedalaman konsep yang di gunakannya.
Dalam konteks ini kebijaksanaan tidak terletak pada banyaknya kata, tetapi pada kehati-hatian dalam memilihnya.
Laozi dalam Tauteching berujar, bahwa kebijaksanaan sejati lebih sering terungkap dalam keheningan daripada dalam deretan kata-kata yang panjang.
Oleh sebab itu, berbicara tanpa henti bukanlah tanda penguasaan makna, tetapi justru sebuah paradoks semakin seseorang berbicara semakin ia menunjukkan betapa sedikitnya ia memahami apa yang sebenarnya ingin ia katakan.